Bismillahirrahmanirrahim.
Seorang musafir boleh mengqashar shalat yang empat raka’at menjadi dua raka’at asalkan memenuhi empat syarat berikut:
▶️ 1- Niat untuk bersafar
Yang mengqashar shalat dipersyaratkan berniat safar. Ini syarat dari seluruh fuqoha.
Namun ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hambali menyaratkan safar yang boleh shalatnya diqashar adalah safar yang bukan maksiat. Yang ingin bermaksiat saat safar, tak boleh mengqashar shalat seperti perampok jalanan. Karena keringanan tidak bisa diperoleh oleh pelaku maksiat.
Jika keringanan itu dibolehkan pada safar maksiat, itu sama saja mendukung maksiat.
Ketika awal safar berniat maksiat, lalu di tengah-tengah mengurungkannya dan bertaubat, maka boleh mengqashar shalat dari safar yang tersisa selama safar tersebut sudah memenuhi jaraknya.
▶️ 2- Sudah mencapai jarak safar
Seseorang baru boleh mengqashar shalat jika sudah mencapai jarak yang ditentukan oleh para fuqaha sebagai jarak disebut telah bersafar. Jika telah memenuhi jarak tersebut barulah disebut sebagai musafir.
Berapakah jarak itu?
Para ulama berselisih pendapat mengenai batasan jarak sehingga disebut safar sehingga boleh mengqashar shalat.
Ada tiga pendapat dalam hal ini:
a- Jarak disebut safar jika telah mencapai 48 mil atau 85 km. Ini pendapat kebanyakan ulama.
b- Disebut safar jika telah melakukan perjalanan dengan berjalan selama tiga hari tiga malam.
c- Tidak ada batasan untuk jarak safar, selama sudah disebut safar, maka sudah boleh mengqashar shalat.
Inilah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan madzhab Zhahiri.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak memberikan batasan untuk jarak safar, tidak juga memberikan batasan waktu atau pun tempat. Berbagai pendapat yang diutarakan dalam masalah ini saling kontradiksi.
Dalil yang menyebutkan adanya batasan tidak bisa dijadikan alasan karena saling kontradiksi.
Untuk menentukan batasan disebut safar amatlah sulit karena bumi sendiri sulit untuk diukur dengan ukuran jarak tertentu dalam mayoritas safar.
Pergerakan musafir pun berbeda-beda. Hendaklah kita tetap membawa makna mutlak sebagaimana disebutkan oleh syari’at.
Begitu pula jika syari’at mengaitkan dengan sesuatu, kita juga harus menetapkan demikian pula.
Initnya, setiap musafir boleh mengqashar shalat di setiap keadaan yang disebut safar.
Begitu pula tetap berlaku berbagai hukum safar seperti mengqashar shalat, shalat di atas kendaraan dan mengusap khuf.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 12-13).
⬛️ Kesimpulan:
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat ketiga.
Selama suatu perjalanan disebut safar baik menempuh jarak dekat maupun jauh, maka boleh mengqashar shalat.
Kalau mau disebut safar, maka ia akan berkata, “saya akan safar”, bukan sekedar berkata, “saya akan pergi”. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 481).
Kalau sulit untuk menentukan itu safar ataukah tidak, maka pendapat jumhur (mayoritas ulama) bisa digunakan yaitu memakai jarak 85 km.
Berarti jika telah menempuh jarak 85 km dari akhir bangunan di kotanya, maka sudah disebut safar. Wallahu a’lam.
▶️ 3- Sudah keluar dari bangunan terakhir dari negerinya.
Qashar shalat baru bisa dilakukan jika seseorang keluar dari tempat ia bermukim. Jika ia keluar dari rumah terakhir dari kotanya, ketika itu barulah shalat bisa diqashar menjadi dua raka’at.
Dalilnya,
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضى الله عنه – قَالَ صَلَّى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا ، وَبِذِى الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ
“Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di Madinah empat raka’at, dan di Dzul Hulaifah (saat ini disebut dengan: Bir Ali) shalat sebanyak dua raka’at.” (HR. Bukhari no. 1089 dan Muslim no. 690).
▶️ 4- Disyaratkan niat qashar untuk setiap shalat.
Disyaratkan untuk mengqashar shalat, sudah ada niat sejak takbiratul ihram untuk setiap shalat.
Semoga bermanfaat bagi para musafir.
ustad muhammad abduh tuasikal.
0 komentar:
Posting Komentar